Kalendar Islam

RESEPI KEJAYAANKU

Assalamualaikum,
Kejayaan seseorang adalah bergantung kepada kekuatan individu tersebut dalam menentukan ; masa depannya, halatuju kehidupan & wawasan hidupnya, gaya hidupnya yang membolehkannya berdiri teguh dan sentiasa bermotivasi dan saling memahami pasangan dan anak-anaknya dalam menyesuaikan kerjaya dan kehidupannya secara berkeluarga. formulanya : teguhkan keazaman untuk mencapai cita-cita , terus melonjak kehadapan dan berani membuat keputusan dan mengambil risiko serta sentiasa muhasabah realself agar sentiasa sustainable.

Search This Blog

FASTAQIM KAMA UMIRTA Pengalaman Belajar di Malaysia dan Luar Negara ( Mesir ) 70 - 90 an


SETELAH UMUARKU MELAWATI EMPAT PULUH LIMA TAHUN, gembira melihat kejayaan anak-anak Ahmad Fadhlullah (Perubatan Univ Iskandariah Mesir) Ammar ( Perakaunan & Perbankan Islam USIM) Umar Faruq (Ilmu Wahyu & Pentadbiran UIAM) Amir ( Ting 4 SMKA Tun Sakaran ) Hasan ( Ting 1 SM Sains Lahad Datu Sabah ) Yasir ( darjah 5 SK Lahad Datu 4 ) mengejar cita -cita mereka. Kini umurku masuk 52 tahun 2017, alhamdulillah anak-anakku telah berada di universiti. Ahmad berada di tahun akhir perubatan, angah di tahun 3 USIM, Umar Tahun 1 dalam Pendidikan Islam dan bahasa Arab UIA, Amir sedang tunggu SPM , Hasan Tingkatan 3 di SMKA Falahiah Kelantan, Yasir Tingkatan 1 di Maahad Tahfiz Tok Guru Kota Bharu. Anak -anak daripada isteri kedua alhamdullah dah lepas U Kak Long, Muaz dah bekerja. Najiha sambung MA di UKM, Iman dan Najwa di UIA , Huda di UKM sementara Zaid sedang tunggu SPM dan Husaini di Maahad Tahfiz Sains. Tahniah.

Monday, August 12, 2019

العرف والعادة

https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/03/kaidah-3-tradisi-itu-dapat-menjadi-hukum-%EF%BA%8D%EF%BB%9F%EF%BB%8C%EF%BA%8E%EF%BA%A9%EF%BA%93-%EF%BB%A3%EF%BA%A4%EF%BB%9C%EF%BB%A4%EF%BA%94/
https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/03/kaidah-3-tradisi-itu-dapat-menjadi-hukum-%EF%BA%8D%EF%BB%9F%EF%BB%8C%EF%BA%8E%EF%BA%A9%EF%BA%93-%EF%BB%A3%EF%BA%A4%EF%BB%9C%EF%BB%A4%EF%BA%94/
KAIDAH 3 | TRADISI ITU DAPAT MENJADI HUKUM ( ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﻣﺤﻜﻤﺔ )

 wakidyusuf

3 tahun yang lalu

​Pengertian dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah

Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. 
Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. 
Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’. [2]
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-‘adah, yaitu al-‘urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara istilah yaitu:
ﺍﻟﻌﺮﻑ ﻫﻮ ﻣﺎ ﺗﻌﺎ ﺭﻑ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺍﻋﺘﺪﻩ ﻓﻰ ﺍﻗﻮﺍﻟﻬﻢ ﻭﺍﻓﻌﺎﻟﻬﻢ ﺣﺘﻰ ﺻﺎﺭ ﺫﺍﻟﻚ ﻣﻄﺮﺩﺍ ﺍﻭﻏﺎ ﻟﺒﺎ
‘Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum”.
Sedangkan arti dari kata “muhakkamah” dalam ilmu hukum Islam adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.
Para ahli fiqh mengatakan hal yang mashur yang berhubungan dengan kaidah ini,
ﻛﻞ ﻣﺎ ﻭﺭﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﺑﻼ ﺿﺎﺑﻂ ﻣﻨﻪ ﻭ ﻻ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻳﺮﺟﻊ ﻓﻴﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﺮﻑ
“ semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.” [3]
Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara dalam muammalah seperti dalam jual beli, sewa menyewa, kerja samanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya adalah merupakan dasar hukum, sehingga seandainya terjadi perselisihan diantara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau urf’ yang berlaku.
Dasar-dasar Nash dari kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
ﺧُﺬِ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻭَﺃْﻣُﺮْ ﺑِﺎﻟْﻌُﺮْﻑِ ﻭَﺃَﻋْﺮِﺽْ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴﻦَ
“Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).
…. ﻭَﻋَﺎﺷِﺮُﻭﻫُﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ….
“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
Dasar hukum didalam Hadits yaitu:
ﻣَﺎ ﺭَﺀَﺍﻩُ ﺍْﻟﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ ﺣَﺴَﻨًﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺣَﺴَﻦٌ ﻭَﻣَﺎ ﺭَﺀَﺍﻩُ ﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ ﺳَﻴْﺌًﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﻋِﻨْﺪَﺍﺍﻟﻠﻪِ ﺳَﻲْﺀٌ
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk”(HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas’ud). [4]
Syarat diberlakukannya kaidah Al-‘aadah Muhakkamah
Al-‘aadah yang bisa dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah al’adah as-shahihah, bukan al-‘adah al-fasidah. Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak bisa digunakan apabila:
1. Al-‘adah bertentangan dengan nash Al-qur’an dan hadis, seperti: puasa sehari semalam, kebiasaan menanam kepala hewan kurban waktu membuat jembatan. Kebiasaan memelihara babi, dan lain sebagainya.
2. Al-‘adah tersebut menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan kemashlahatan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kerusakan, seperti: menghambur-hamburkan harta, hura-hura dalam perayaan dan lain-lain.
3. Al-‘adah berlaku umumya dikaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang bisa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh beberapa orang saja maka tidak dianggap adat.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah mahdhah tidak dilakukan kecuali yang disyari’atkan Allah dan al-‘adah tidak diharamkan kecuali yang diharamkan Allah.
Kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan Kaidah Al’aadah Muhakkamah
1) ﺍِﺳْﺘِﻌْﻤَﺎﻝُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺣُﺠَّﺔٌ ﻳَﺠِﺐُ ﺍﻟﻌَﻤَﻞُ ﺑِﻬَﺎ
“ Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
2) ﺍِﻧَّﻤَﺎ ﺗُﻌْﺘَﺒَﺮُ ﺍﻟﻌَﺎﺩَﺓُ ﺍِﺫَﺍ ﺍﺿْﻄَﺮَﺩَﺕْ ﺍَﻭ ﻏَﻠَﺒَﺖْ
“ Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
3) ﺍﻟﻌِﺒْﺮَﺓُ ﻟﻠِﻐَﺎﻟِﺐِ ﺍﻟﺸَّﺎ ﺋِﻊِ ﻻَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺩِﺭِ
“ Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
ﺍﻟﺤُﻜْﻢُ ﺑِﺎﻟﻤﻌْﺘَﺎﺩِ ﻻَ ﺑِﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺩِﺭِ
“ Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
4) ﺍﻟﻤَﻌْﺮُﻭْﻑُ ﻋُﺮْﻓَﺎ ﻛَﺎﻟْﻤَﺸْﺮُﻭْﻁِ ﺷَﺮْﻃًﺎ
“ Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat.
Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka para ulama membolehkannya.
5) ﺍﻟْﻤَﻌْﺮُﻭْﻑُ ﺑَﻴْﻦَ ﺗُﺠَّﺎﺭِ ﻛَﺎﻟْﻤَﺸْﺮُﻭْﻁِ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ
“ Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”
Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
6) ﺍﻟﺘَّﻌْﻴِﻴْﻦُ ﺑﺎِﻟْﻌُﺮْﻑِ ﻛَﺎﻟﺘَّﻌْﻴِﻴْﻦِ ﺑِﺎﻟﻨَّﺺ
“ Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
7) ﺍﻟﻤﻤْﺘَﻨَﻊُ ﻋَﺎﺩَﺓً ﻛَﺎﻟْﻤُﻤْﺘَﻨَﻊِ ﺣَﻘِﻴْﻘَﺔً
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul tanah tersebut.
8) ﺍﻟﺤَﻘِﻴْﻘَﺔُ ﺗُﺘْﺮَﻙُ ﺑِﺪَﻻَﻟَﺔِ ﺍﻟﻌَﺎﺩَﺓِ
“ Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik.
9) ﺍﻻِﺫْﻥُ ﺍﻟﻌُﺮْﻑِ ﻛَﺎﻻِﺫْﻥِ ﺍﻟﻠَﻔْﻈِﻰ
“ Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti mempersilahkannya.
 PENUTUP
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
REFERENSI
As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir . Darul Kutub Ilmiah. 1990.
Muchlis Usman. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam istinbath hukum. PT Raja Grafindo persada.1999. Jakarta.
Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah) , Malang. UIN Maliki Press. 2010.
[1] As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990. Hal 7
[2] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), Malang. UIN Maliki Press. 2010. Hal.203
[3] As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir. Darul Kutub Ilmiah. 1990. Hal 196
[4] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), Malang, UIN Maliki Press. 2010. Hal 209